Sentuhan Insinyur Indonesia di Boeing 787 Dreamliner


Pesawat penumpang super keren Boeing 787 Dreamliner memang buatan Amerika Serikat, tapi ada sentuhan insinyur Indonesia di dapur pembuatan pesawat itu. Ada sekitar 4 insinyur Indonesia yang terlibat dalam pembuatan pesawat tersebut, salah satunya adalah Bram Djermani.
“Di Boeing ada sekitar 32 orang lebih orang Indonesia. Yang di 787 Dreamliner itu ada sekitar 4 orang dari Indonesia,” ujar Bram Djermani (5/10).
Bram bergabung dengan tim bagian produksi. Sedangkan 3 insinyur Indonesia lainnya bergabung dengan tim planning engineer, liaison engineer dan stress engineer. Mereka bersama hampir 500 orang lainnya dipercaya Boeing untuk terlibat dalam pembuatan hingga pengiriman pesawat.
Ayah 3 anak ini bergabung dengan Boeing sejak 2008 lalu sehingga dia telah membidani lahirnya Dreamliner yang pertama hingga yang terbaru. Baginya apa yang telah dilakukannya menjadi kebanggan tersendiri. Maklum, dia telah bergabung dengan perusahaan pesawat kelas dunia bersama orang-orang dari berbagai negara. Apalagi pesawat yang ditanganinya merupakan salah satu pesawat tercanggih dengan teknologi modern.
“Seharusnya Indonesia juga bisa begitu, bisa memproduksi dan mendeliver pesawat buatan sendiri ke customer. Untuk suatu negara yang besar, seharusnya Indonesia bisa independen dengan memenuhi transportasi negeri sendiri,” sambung Bram.

Menurutnya, ada banyak insinyur asal Indonesia yang tersebar di perusahaan pesawat berbagai negara. Para insinyur itu meninggalkan Indonesia lantaran tidak ada wadah bagi mereka di Tanah Air untuk berkreasi.
 “Bukan kita tidak peduli dengan industri di dalam negeri, tapi karena memang wadahnya tidak tersedia. Kita belum melihat ada upaya pemerintah untuk lebih menguatkan PT Dirgantara Indonesia (DI). Pemerintah seharusnya punya komitmen dulu terhadap pembangunan industri strategis,” tutur Bram.
Dia mengatakan, dulu Malaysia belajar banyak soal teknologi dari Indonesia. Namun kini Negeri Jiran itu malah terlihat lebih antusias untuk mengembangkan industri strategis. “Dan mereka menarik orang-orang Indonesia,” sambung pria 40 tahun ini.
Bram yakin, jika Indonesia punya komitmen untuk mengembangkan industri pesawat, hal itu bisa dilakukan. Putra-putri bangsa ini banyak yang mengantongi kemampuan dan pengalaman yang bisa dibagi dan disalurkan untuk menumbuh-kembangkan industri itu. “Kalau ada kemauan pasti ada jalan,” ucapnya.
Bram lahir di Jerman 12 November 1970. Ayahnya adalah salah satu dari 16 insinyur PT DI yang dulunya masih bernama Nurtanio. Karena kedekatannya dengan pesawat membuat dia ingin berkecimpung di dunia pembuatan burung besi.
SD hingga SMA dijalani Bram di Jakarta. Mengingat dia berasal dari jurusan IPS saat SMA, ketika kuliah dia mengambil Ekonomi di Universitas Trisakti. Namun dia tidak bisa mengesampingkan keinginannya yang kuat untuk menjadi ‘koki’ di ‘dapur’ pesawat sehingga memutuskan meninggalkan Trisakti dan mengambil jurusan Industri di AS.
 “Saya lalu kuliah di University of Toledo. Kalau di Indonesia kan umumnya kalau dari sosial larinya ke sosial. Di luar negeri, saya yang latar belakangnya sosial belajar di ekstakta tidak kesulitan karena benar-benar mempelajari dasarnya. Ada teori lalu aplikasi,” papar Bram.
Sebelum bergabung dengan Boeing di tahun 2008, selama 8 tahun Bram menimba ilmu di General Motor dan Crafter. Namun dia tidak akan selamanya berkecimpung di ‘dapur’ pesawat. Karena itu dia bermimpi untuk membangun perusahaan sendiri. Perusahaan yang mampu menarik banyak karyawan sehingga menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang.
Bram adalah salah satu orang yang percaya tidak ada yang tidak mungkin. Selama seseorang mau berusaha dan belajar, kemungkinan besar apa yang diinginkan bisa didapatkan. Karena ikhtiar adalah tugas manusia. Seperti yang pernah dikatakan sastrawan Brazil Paulo Coelho, ‘Jika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan bersatu membantumu.’

0 komentar:

Posting Komentar